Dalam beberapa tahun terakhir, dunia kembali diguncang oleh meningkatnya jumlah korban ranjau darat dan bahan peledak sisa perang (UXO). Meski teknologi, diplomasi, serta kampanye kemanusiaan terus berkembang, ancaman ranjau ternyata tidak mereda. Laporan terbaru menyebutkan bahwa jumlah korban telah mencapai titik tertinggi dalam empat tahun terakhir, menandakan bahwa penggunaan ranjau serta ledakan bahan tidak aktif masih menjadi isu besar di berbagai negara.
Fenomena ini bukan semata-mata akibat peperangan yang sedang berlangsung, tetapi juga hasil dari konflik-konflik lama yang meninggalkan pusaka mematikan di bawah tanah. Ratusan ribu ranjau tertanam tanpa peta yang jelas, menunggu waktu hingga seseorang—sering kali warga sipil—tanpa sengaja memicunya.
Artikel ini mengulas secara mendalam faktor penyebab kenaikan korban, wilayah paling terdampak, tantangan dalam upaya pembersihan, hingga langkah global yang harus segera ditempuh.
1. Peningkatan Korban: Mengapa Terjadi Sekarang?
Lonjakan korban ranjau darat bukan hanya kebetulan. Ada beberapa faktor yang saling berhubungan:
a. Konflik Baru dan Konflik Lama yang Kembali Memanas
Banyak negara yang pernah mengalami perang sipil atau konflik internal kembali mengalami ketegangan. Situasi ini menjadikan ranjau sebagai “senjata murah” bagi kelompok bersenjata, baik untuk mempertahankan wilayah maupun menghalangi musuh.
Beberapa negara bahkan belum sepenuhnya pulih dari perang sebelumnya, sehingga tambang-tambang lama kini bercampur dengan ranjau baru yang ditanam dalam konflik terbaru.
b. Minimnya Dana Operasi Pembersihan
Pembersihan ranjau memerlukan:
-
personel terlatih,
-
robot dan alat pendeteksi modern,
-
waktu yang sangat lama,
-
biaya yang besar.
Ketika dana kemanusiaan global menurun atau dialihkan ke krisis lain, program pembersihan melambat atau berhenti total. Hasilnya, wilayah berbahaya tetap tidak tersentuh selama bertahun-tahun.
c. Pengabaian Perjanjian Internasional
Sebagian negara belum bergabung dalam perjanjian global yang melarang produksi, penyimpanan, dan penggunaan ranjau darat. Ada juga negara yang awalnya mendukung tetapi kemudian menarik diri, sehingga regulasi global menjadi melemah.
Ketika tidak ada tekanan diplomatik yang kuat, penggunaan ranjau cenderung meningkat karena dianggap senjata efektif dan murah.
d. Bencana Alam yang Menggeser Ranjau
Fenomena seperti banjir, tanah longsor, atau gempa dapat memindahkan ranjau dari lokasi awal. Akibatnya:
-
peta ranjau menjadi tidak akurat,
-
ranjau muncul di area baru,
-
keselamatan kerja tim pembersih semakin terancam.
2. Korban Sipil: Siapa yang Paling Terpukul?
Data menunjukkan bahwa korban terbesar berasal dari kelompok-kelompok rentan:
a. Anak-anak
Anak-anak sering menjadi korban ranjau karena:
-
mereka bermain di area terbuka,
-
tidak mengenali simbol bahaya,
-
tertarik pada benda aneh yang terlihat seperti mainan.
Ledakan pada tubuh anak membuat luka mereka jauh lebih fatal.
b. Perempuan dan Ibu Rumah Tangga
Banyak perempuan terkena ranjau saat:
-
mencari air,
-
mengumpulkan kayu bakar,
-
bertani,
-
mengurus hewan ternak.
Aktivitas ini biasanya dilakukan di pinggiran desa, lokasi yang rawan ranjau.
c. Petani dan pekerja pedesaan
Ranjau sering dipasang di:
-
ladang,
-
kebun,
-
area perbukitan,
-
jalur transportasi desa.
Mereka yang menggantungkan hidup pada pertanian sangat terekspos dengan bahaya ini.
3. Dampak Sosial dan Ekonomi yang Menghancurkan
Ledakan ranjau tidak hanya merenggut nyawa atau menyebabkan cacat permanen, tetapi juga menciptakan efek domino berkepanjangan.
a. Kehilangan Mata Pencaharian
Seorang petani yang kehilangan kaki, tangan, atau penglihatan tidak bisa bekerja seperti sebelumnya. Banyak keluarga langsung jatuh miskin karena tidak memiliki penghasilan lain.
b. Trauma Psikologis
Korban yang selamat sering mengalami:
-
depresi,
-
ketakutan untuk beraktivitas,
-
kecemasan kronis,
-
rasa tidak berguna dalam keluarga.
Rehabilitasi psikologis jauh lebih rumit daripada perawatan fisik.
c. Wilayah Tidak Bisa Digunakan
Ribuan hektare tanah subur tidak dapat digarap karena dianggap berbahaya. Akibatnya:
-
produksi pangan menurun,
-
pendapatan desa hancur,
-
migrasi besar-besaran terjadi.
d. Biaya Medis dan Rehabilitasi Tinggi
Operasi, pemasangan kaki palsu, hingga fisioterapi membutuhkan biaya besar. Banyak negara tidak memiliki sistem kesehatan memadai, sehingga keluarga korban terbebani secara ekonomi.
4. Tantangan Pembersihan Ranjau
Walau teknologi sudah maju, proses pembersihan ranjau tetap menjadi salah satu pekerjaan paling berbahaya di dunia.
a. Minimnya Peta Ranjau
Kelompok-kelompok bersenjata sering menanam ranjau tanpa dokumentasi. Bahkan ketika konflik telah usai, lokasi persisnya tidak dapat diketahui.
b. Medan yang Sulit
Ranjau sering ditanam di:
-
hutan lebat,
-
padang pasir,
-
area pegunungan,
-
kawasan rawa.
Kondisi ekstrem ini menghambat mesin pendeteksi dan membahayakan tim.
c. Teknologi Belum Sempurna
Meski ada robot anti-ranjau, sebagian ranjau modern:
-
memiliki bahan non-logam,
-
tertanam terlalu dalam,
-
memiliki pemicu sensitif yang bereaksi pada getaran kecil.
d. Keterbatasan Tenaga Ahli
Pembersih ranjau harus menjalani pelatihan panjang. Tidak semua negara memiliki ahli cukup untuk wilayah yang luas.
5. Upaya Internasional: Kemajuan dan Kendala
a. Perjanjian Larangan Ranjau
Perjanjian internasional sudah banyak menghasilkan dampak positif, seperti:
-
ribuan ranjau dimusnahkan,
-
luas area berbahaya berkurang,
-
kesadaran publik meningkat.
Namun sayangnya, sebagian negara besar belum bergabung, dan beberapa justru menarik dukungan.
b. Program Edukasi Masyarakat
Anak sekolah, petani, dan warga desa diajari:
-
mengenali tanda-tanda ranjau,
-
menghindari area terlarang,
-
melapor jika menemukan benda mencurigakan.
Program ini terbukti menurunkan korban secara signifikan, tetapi cakupannya masih terbatas.
c. Penerapan Teknologi Baru
Inovasi terbaru meliputi:
-
drone pemetaan,
-
robot penghancur ranjau,
-
sensor gelombang,
-
anjing pelacak khusus.
Namun teknologi ini memerlukan biaya besar.
d. Organisasi Kemanusiaan
Banyak organisasi bekerja siang malam untuk menyelamatkan nyawa. Namun mereka menghadapi:
-
kekurangan dana,
-
akses terbatas ke wilayah konflik,
-
ancaman keamanan dari kelompok bersenjata.
6. Masa Depan: Apa yang Harus Dilakukan Dunia?
Untuk mengatasi masalah ini, dunia membutuhkan strategi komprehensif:
a. Penegasan kembali komitmen global
Negara-negara harus kembali memperkuat perjanjian yang melarang penggunaan ranjau dan mencegah produksi baru.
b. Menambah pendanaan jangka panjang
Pembersihan membutuhkan dana yang stabil, bukan hanya donasi musiman ketika terjadi krisis.
c. Ekspansi program edukasi
Pendidikan keselamatan harus menjangkau semua komunitas berisiko, terutama sekolah-sekolah di daerah pedalaman.
d. Penggunaan teknologi lebih luas
Drone pemetaan, satelit, dan robot harus diperluas penggunaannya di negara-negara berisiko tinggi.
e. Dukungan penuh untuk para penyintas
Mulai dari perawatan medis, terapi mental, hingga pemberdayaan ekonomi agar mereka bisa kembali hidup layak.
Kesimpulan
Lonjakan korban ranjau darat menunjukkan bahwa ancaman lama ini belum hilang. Di banyak wilayah, ranjau tetap menjadi perangkap tak terlihat yang merenggut nyawa warga sipil, terutama anak-anak dan perempuan. Upaya internasional memang sudah berjalan, tetapi belum cukup untuk menekan risiko secara signifikan.
Dunia membutuhkan solidaritas global yang lebih kuat, pendanaan berkelanjutan, serta komitmen politik untuk mengakhiri penggunaan ranjau. Selama ranjau masih tersebar di tanah-tanah konflik, keamanan dan masa depan jutaan orang tetap berada dalam bahaya.