Di Jurnalac, kamu bisa menemukan berita terbaru, artikel pilihan, serta opini-opini segar dari berbagai sudut pandang.

Search Suggest

Negara-Negara Kepulauan Kecil Mendesak Dunia Menjaga Batas Pemanasan 1,5°C di COP30

Negara-Negara Kepulauan Kecil (SIDS) mendesak aksi iklim global yang ambisius di COP30, menuntut dunia untuk mempertahankan batas pemanasan 1,5°C.

 



Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP30) yang digelar di Belém, Brasil, menjadi salah satu pertemuan global paling penting dalam beberapa tahun terakhir. Di tengah meningkatnya suhu bumi, badai yang semakin sering, serta naiknya permukaan laut, negara-negara kepulauan kecil muncul sebagai suara yang paling lantang. Mereka menegaskan bahwa batas pemanasan global 1,5°C bukanlah sekadar angka dalam dokumen perjanjian, tetapi batas hidup dan mati bagi jutaan manusia yang tinggal di pulau-pulau kecil di seluruh dunia.

Negara-negara kepulauan kecil—seperti Maladewa, Tuvalu, Fiji, Kiribati, dan negara-negara di Karibia—membawa pesan yang sangat jelas ke COP30: dunia harus benar-benar menghormati komitmen menuju 1,5°C. Jika tidak, banyak dari wilayah mereka terancam hilang sepenuhnya dalam beberapa dekade mendatang. Suara ini bukan baru muncul di COP30, namun kali ini, urgensinya jauh lebih kuat. Laporan ilmiah terbaru menunjukkan bahwa tren pemanasan global terus meningkat, bahkan berpotensi melewati ambang batas yang pernah disepakati dalam Perjanjian Paris.

Ancaman Nyata yang Sudah Terjadi, Bukan Sekadar Prediksi

Selama ini, ketika dunia berbicara tentang krisis iklim, banyak yang membayangkannya sebagai ancaman masa depan. Namun bagi negara kepulauan kecil, perubahan iklim adalah kenyataan yang mereka hadapi setiap hari. Di beberapa negara, banjir rob menjadi kejadian rutin yang merusak rumah penduduk, infrastruktur, sekolah, dan rumah sakit. Di tempat lain, air laut yang merembes naik telah mencemari air tanah, membuat masyarakat kekurangan air bersih.

Di Pulau Kiribati, misalnya, sebagian masyarakat bahkan telah berpindah dari pulau mereka karena daratan semakin mengecil. Di Tuvalu, pemerintah harus berjuang melindungi wilayah yang semakin sering tenggelam saat pasang tinggi. Negara kepulauan di Karibia juga terus dihantam badai kategori tinggi yang semakin kuat dari tahun ke tahun. Semua ini membuktikan bahwa bagi mereka, krisis iklim bukan sekadar statistik—itu adalah krisis eksistensial.

Karena itu, ketika dunia mengangkat isu baterai EV, pajak karbon, atau teknologi penangkapan karbon, negara-negara kepulauan kecil mengangkat isu lebih fundamental: hak mereka untuk tetap ada.

1,5°C: “Lifeline” Bukan Sekadar Target

Dalam setiap sesi negosiasi di COP30, delegasi dari negara kepulauan kecil selalu menyebut batas 1,5°C sebagai “lifeline” atau tali penyelamat. Mereka menekankan bahwa perbedaan antara 1,5°C dan 2°C bukanlah sekadar setengah derajat. Dampak dari kenaikan setengah derajat tersebut membawa konsekuensi:

  • Gelombang panas yang lebih ekstrem

  • Badai yang lebih kuat

  • Permukaan laut yang jauh lebih tinggi

  • Kerusakan ekosistem laut termasuk terumbu karang

  • Risiko tenggelam permanen bagi negara-negara pulau dataran rendah

Di negara-negara pulau, terumbu karang bukan hanya objek wisata tetapi fondasi dari seluruh ekosistem laut mereka, sumber mata pencaharian, dan pelindung alami dari ombak besar. Dengan pemanasan lebih dari 1,5°C, sebagian besar terumbu karang dunia diprediksi akan mati total, menghilangkan lapisan pelindung itu.

Delegasi negara pulau mengatakan bahwa menaikkan target lebih dari 1,5°C sama saja dengan menghukum mereka secara tidak langsung. Mereka meminta negara-negara besar untuk tidak hanya mempertimbangkan ekonomi jangka pendek, tetapi juga masa depan generasi mendatang.

Kesulitan dalam Negosiasi Global

Pertemuan COP selalu penuh tantangan karena negara-negara di seluruh dunia memiliki prioritas yang berbeda-beda. Negara maju memiliki teknologi dan sumber daya, tetapi masih bergantung pada energi tinggi. Negara berkembang membutuhkan dana untuk transisi energi. Sementara negara pengekspor minyak dan gas masih mengkhawatirkan dampak ekonomi dari pengurangan bahan bakar fosil.

Dalam kompleksitas ini, suara negara kepulauan kecil sering kali terpinggirkan, padahal merekalah yang terkena dampak paling parah. Oleh karena itu, di COP30 mereka memutuskan untuk bersatu lebih kuat dan berbicara dalam satu suara. Mereka membawa data, kesaksian warga, dan bukti ilmiah untuk menggugah empati dunia.

Salah satu desakan terbesar mereka adalah transparansi dan kecepatan dalam pemenuhan pendanaan iklim. Mereka menuntut agar janji pendanaan dari negara maju—khususnya dana untuk adaptasi dan mitigasi—benar-benar diberikan, bukan hanya wacana.

Sains Menegaskan Seruan Mereka

Lembaga-lembaga ilmiah internasional sudah lama memperingatkan bahwa kenaikan suhu global perlu dibatasi hingga maksimal 1,5°C. Jika dunia gagal menahan kenaikan suhu, maka beberapa pulau dapat tenggelam pada akhir abad ini.

Selain naiknya permukaan laut, risiko yang mereka hadapi juga meliputi:

  • Erosi pantai yang semakin parah

  • Intensitas badai tropis yang meningkat

  • Ancaman terhadap ketahanan pangan karena perubahan pola cuaca

  • Menurunnya sumber air tawar

  • Migrasi paksa yang dapat menciptakan “pengungsi iklim”

Ilmuwan iklim setuju bahwa negara-negara kepulauan kecil merupakan indikator awal bagi dunia. Apa yang terjadi pada mereka saat ini akan terjadi pada wilayah pesisir negara-negara lain dalam beberapa dekade mendatang jika pemanasan tidak dihentikan.

Tekanan Moral kepada Negara Besar

Negara-negara kepulauan kecil membawa argumen yang sangat kuat secara moral. Mereka hampir tidak berkontribusi pada emisi global. Jejak karbon mereka sangat kecil dibandingkan negara maju atau negara berkembang industri. Namun dampak krisis iklim justru menghantam mereka lebih keras.

Karena itu, tuntutan mereka di COP30 berisi pesan moral yang sederhana: negara yang menghasilkan emisi paling banyak harus mengambil tanggung jawab paling besar.

Mereka mendesak:

  • Penghentian bertahap bahan bakar fosil

  • Investasi besar dalam energi terbarukan

  • Pendanaan iklim yang cepat, transparan, dan adil

  • Perlindungan khusus untuk negara-negara yang terancam tenggelam

  • Pemenuhan janji pendanaan yang belum terealisasi sepenuhnya

Pesan ini menggugah banyak pihak dalam pertemuan COP30, namun pada saat yang sama memicu perdebatan sengit antara delegasi negara besar dan kelompok-kelompok aktivis lingkungan.

Harapan untuk Keputusan COP30

Walaupun jalan menuju komitmen global tidak mudah, negara-negara kepulauan kecil tetap optimistis. Mereka berharap bahwa COP30 dapat menjadi titik balik, bukan hanya pertemuan simbolis. Harapan utama mereka adalah bahwa dunia benar-benar mengambil langkah nyata untuk mempertahankan batas pemanasan 1,5°C.

Mereka mengingatkan bahwa waktu kita semakin sempit. Jika dunia menunggu lima atau sepuluh tahun lagi untuk bertindak lebih serius, kerusakan yang terjadi bisa menjadi tidak dapat diperbaiki. Negara-negara pulau tidak ingin menjadi korban pertama dari kelalaian global.

Kesimpulan: Seruan dari Barisan Terdepan Krisis Iklim

COP30 menjadi panggung bagi negara-negara kepulauan kecil untuk berteriak kepada dunia bahwa mereka sedang berada di ambang kehancuran. Mereka meminta dunia untuk tidak hanya membuat janji, tetapi benar-benar melakukan aksi nyata. Bagi mereka, menjaga batas pemanasan 1,5°C bukan sekadar pilihan—itu adalah satu-satunya jalan untuk bertahan hidup.

Seruan mereka adalah pengingat bahwa krisis iklim bukan lagi isu masa depan. Ia sedang terjadi sekarang, dan mereka yang paling sedikit berkontribusi justru merasakan dampaknya paling besar. Dunia punya kesempatan untuk memilih: membiarkan pulau-pulau itu tenggelam, atau bangkit bersama untuk menjaga bumi tetap layak huni bagi semua.

Posting Komentar