Konferensi Perubahan Iklim COP30 yang digelar di Belém, Brasil, pada tahun ini berubah menjadi panggung besar suara masyarakat adat dari berbagai penjuru dunia. Ribuan aktivis, perwakilan komunitas adat, kelompok lingkungan, serta organisasi masyarakat sipil berkumpul dengan satu tujuan yang sama: menuntut agar dunia benar-benar mendengarkan mereka yang selama ini berada di garis depan perjuangan menjaga bumi, namun justru paling sedikit mendapatkan ruang dalam proses pengambilan keputusan global.
Protes besar yang berlangsung di luar dan sebagian di dalam arena COP30 ini menjadi salah satu momen paling mencolok dalam sejarah konferensi iklim. Tidak hanya karena jumlah massa yang sangat besar, tetapi juga karena keberanian para pemimpin adat yang secara simbolis memaksa masuk ke area pertemuan, menunjukkan betapa pentingnya dan mendesaknya isu yang mereka suarakan.
Artikel ini akan mengulas secara mendalam bagaimana protes tersebut terjadi, apa tuntutan utama masyarakat adat, apa makna pergerakan ini bagi masa depan kebijakan iklim dunia, serta bagaimana reaksi para pemimpin dunia terhadap gelombang suara yang tak bisa lagi diabaikan.
1. Latar Belakang Ketegangan: Suara yang Selama Ini Dipinggirkan
Selama bertahun-tahun, masyarakat adat di seluruh dunia telah mengeluhkan minimnya representasi dalam konferensi iklim internasional. Padahal, komunitas adat memiliki peran vital dalam menjaga ekosistem bumi. Fakta menunjukkan bahwa sebagian besar hutan yang masih utuh di dunia berada di wilayah adat. Kawasan-kawasan tersebut terbukti lebih terjaga karena cara hidup adat yang menghormati keseimbangan alam.
Namun ironisnya, ketika pembahasan tingkat global dilakukan, suara mereka sering hanya menjadi “hiasan agenda”, tanpa pengaruh nyata pada kebijakan.
Di COP30, situasi itu tampaknya mencapai titik jenuh. Komunitas adat yang datang dari Amazon, wilayah Andes, Afrika, Asia Tenggara, Australia, hingga Pasifik sepakat bahwa mereka tidak lagi ingin diperlakukan sebagai peserta pasif yang hanya diminta hadir untuk "melengkapi cerita". Mereka ingin menjadi bagian penentu, bukan sekadar tamu simbolis.
2. Puncak Aksi: Massa Memaksa Masuk ke Area Pertemuan
Puncak protes terjadi ketika ratusan perwakilan adat berkumpul di gerbang utama lokasi konferensi. Mereka membawa spanduk dengan pesan kuat, seperti:
-
“Tanpa Tanah, Tidak Ada Masa Depan”
-
“Hutan Bukan Komoditas”
-
“Dengarkan Penjaga Bumi”
Suasana memanas saat kelompok besar ini mulai melangkah maju mendekati barikade keamanan. Para aparat mencoba menahan, namun massa terus mendesak. Bentrokan kecil terjadi ketika sebagian demonstran memaksa membuka pintu akses menuju ruang pertemuan. Mereka bukan datang untuk melakukan kekerasan, tetapi untuk menunjukkan bahwa pembatas tersebut melambangkan pembatasan suara mereka dalam kebijakan iklim.
Beberapa aktivis berhasil memasuki area dalam, membawa pesan tertulis mengenai hak tanah adat dan keadilan iklim. Aksi mereka memicu perhatian besar dari media internasional dan para delegasi negara yang sedang melakukan diskusi.
3. Tuntutan Utama Komunitas Adat
Aksi yang sangat kuat dan terorganisir ini membawa beberapa tuntutan jelas, yang selama bertahun-tahun mereka perjuangkan namun belum diwujudkan secara konkret dalam kebijakan negara maupun keputusan internasional.
a. Pengakuan legal atas wilayah adat
Komunitas adat meminta pemerintah dunia mengakui wilayah tradisional mereka sebagai tanah adat yang dilindungi secara hukum. Banyak konflik lingkungan terjadi karena wilayah adat dialihfungsi untuk penambangan, perkebunan industri, hingga infrastruktur besar tanpa persetujuan masyarakat setempat.
b. Pelibatan langsung dalam proses pembuatan kebijakan iklim
Mereka menuntut agar perwakilan adat memiliki kursi resmi dalam perundingan iklim global, bukan sebagai pengamat atau simbol budaya, tetapi sebagai pengambil keputusan yang setara.
c. Pendanaan langsung untuk menjaga hutan dan budaya lokal
Mereka ingin pendanaan global untuk iklim tidak hanya berhenti di pemerintah, tetapi mengalir langsung ke komunitas yang menjaga hutan, sungai, dan habitat penting dunia.
d. Penghentian eksploitasi industri berskala besar
Salah satu tuntutan paling lantang adalah penghentian proyek-proyek ekstraktif yang merusak ekosistem: penambangan emas, minyak bumi, gas, dan deforestasi untuk perkebunan sawit atau kedelai. Menurut mereka, proyek-proyek tersebut tidak hanya merusak lingkungan tetapi juga mengancam hidup komunitas adat.
4. Mengapa Suara Mereka Tak Bisa Lagi Diabaikan
Protes ini tidak terjadi dalam ruang kosong. Dunia kini berada di titik kritis perubahan iklim, dan laporan ilmiah menunjukkan bahwa komunitas adat memainkan peran besar dalam memperlambat kerusakan bumi.
Beberapa alasan mengapa suara mereka sangat penting:
a. Pengetahuan tradisional terbukti efektif menjaga ekosistem
Komunitas adat memiliki pengetahuan turun-temurun tentang cara merawat hutan, air, tanah, dan keanekaragaman hayati. Pengetahuan ini seringkali lebih efektif daripada metode modern.
b. Daerah adat adalah benteng terakhir hutan dunia
Sebagian besar wilayah yang masih memiliki tutupan hutan tinggi justru berada di bawah perlindungan masyarakat adat.
c. Mereka adalah pihak yang paling terdampak perubahan iklim
Bencana kekeringan, banjir, hilangnya habitat, dan perubahan pola musim paling dulu dirasakan oleh komunitas adat yang hidup bergantung pada alam.
d. Mereka penjaga iklim, bukan penyebab krisis
Komunitas adat menyumbang sangat sedikit terhadap emisi karbon global, namun menjadi korban paling besar dari kebijakan yang dibuat tanpa melibatkan mereka.
5. Reaksi Dunia: Simpati Besar, Tapi Apakah Akan Ada Aksi?
Setelah protes besar itu, beberapa pemimpin dunia mulai menyatakan simpati. Sejumlah negara menunjukkan dukungan moral terhadap tuntutan masyarakat adat. Beberapa delegasi menyebut bahwa protes tersebut menjadi "wake-up call" yang menyadarkan dunia tentang pentingnya melibatkan penjaga hutan dalam percakapan iklim.
Namun, simpati tanpa tindakan tidak cukup. Komunitas adat menegaskan bahwa mereka tidak butuh sekadar kata-kata manis atau pujian atas peran mereka. Yang mereka perlukan adalah pengakuan legal yang nyata, perlindungan yang konkret, dan akses langsung kepada pembuat kebijakan serta pendanaan.
Pertanyaannya sekarang: apakah negara-negara besar benar-benar siap menyerahkan sebagian kontrol atas kebijakan pemanfaatan hutan dan tanah kepada komunitas adat? Inilah ujian besar COP30.
6. Dampak Protes terhadap Agenda COP30
Gelombang protes ini mengguncang suasana konferensi. Topik yang sebelumnya tidak menjadi fokus utama, seperti hak tanah adat dan keadilan sosial, kini masuk ke tengah perdebatan.
Beberapa efek yang langsung terasa antara lain:
-
Diskusi panel khusus mengenai hak wilayah adat diperpanjang dan dihadiri lebih banyak delegasi.
-
Tekanan kepada negara-negara dengan deforestasi tinggi semakin besar.
-
Beberapa organisasi internasional menyerukan pembentukan mekanisme global khusus pendanaan komunitas adat.
-
Media global menempatkan isu adat sebagai headline utama.
Aksi ini berhasil menggeser fokus dari sekadar target emisi menjadi pembahasan tentang siapa yang benar-benar menjaga bumi dan siapa yang selama ini mengabaikan mereka.
7. Penutup: Suara Bumi yang Akhirnya Terdengar
Protes besar komunitas adat di COP30 bukan hanya aksi demonstrasi biasa. Ini adalah simbol dari ketidakadilan sistemik yang sudah terakumulasi selama puluhan tahun. Ketika mereka memaksa masuk ke ruang pertemuan, itu bukan semata tindakan fisik—melainkan simbol perjuangan agar dunia membuka telinga dan hatinya.
Mereka bukan hanya membawa isu tanah, tetapi juga membawa pesan bahwa masa depan bumi tidak bisa dipisahkan dari hak-hak masyarakat adat. Tanpa pengakuan terhadap penjaga hutan dan penjaga bumi, semua target iklim, semua perjanjian, semua komitmen, tidak akan berarti apa-apa.
Kini bola berada di tangan para pemimpin dunia: akankah mereka menjawab seruan ini dengan tindakan nyata, atau kembali membiarkan suara-suara penjaga bumi tenggelam dalam dokumen panjang dan janji yang tak pernah ditepati?
Yang jelas, hari itu di COP30, dunia menyaksikan bahwa masyarakat adat tidak akan lagi tinggal diam. Suara mereka semakin kuat—dan kini mustahil untuk diabaikan.