Di Jurnalac, kamu bisa menemukan berita terbaru, artikel pilihan, serta opini-opini segar dari berbagai sudut pandang.

Search Suggest

Selera Musik Menyempit Seiring Bertambahnya Usia: Fenomena, Penyebab, dan Dampaknya

"Fenomena selera musik yang makin sempit seiring usia, penyebab serta dampaknya dalam hidup."

 



Musik adalah bahasa universal yang mampu menyentuh hati manusia, melintasi batas budaya, bahasa, maupun generasi. Sejak kecil hingga dewasa, musik selalu hadir dalam keseharian kita—dari lagu pengantar tidur, nada dering ponsel, hingga musik pengiring suasana di kafe atau pusat perbelanjaan. Namun menariknya, berbagai penelitian psikologi musik menemukan bahwa seiring bertambahnya usia, seseorang cenderung memiliki jumlah lagu favorit yang semakin sedikit. Fenomena ini dikenal sebagai penyempitan preferensi musik.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Apakah musik yang baru dianggap “tidak menarik” oleh orang yang lebih tua? Atau justru ada faktor psikologis dan biologis yang membuat kita lebih nyaman dengan lagu-lagu tertentu saja? Artikel ini akan mengulas secara mendalam fenomena tersebut dari sisi psikologi, sosiologi, hingga dampaknya pada kehidupan sehari-hari.


Masa Muda: Eksplorasi Tanpa Batas

Di usia remaja hingga awal 20-an, seseorang biasanya sangat terbuka terhadap berbagai genre musik. Inilah fase ketika seseorang mencoba mencari identitas diri. Musik tidak sekadar hiburan, tetapi juga menjadi media ekspresi dan cara untuk membangun jati diri.

Remaja bisa dengan mudah berpindah dari pop ke rock, dari rap ke musik tradisional, bahkan menikmati EDM di satu waktu lalu mendengarkan balada melankolis di waktu lain. Mereka juga sering lebih aktif mencari musik baru melalui media sosial, platform streaming, atau rekomendasi teman.

Pada tahap ini, dopamin, neurotransmiter yang berhubungan dengan rasa senang, bekerja lebih intens ketika otak menemukan hal-hal baru. Itulah mengapa musik baru terasa lebih menggairahkan dan menyenangkan ketika didengarkan di usia muda.


Usia Dewasa: Stabilitas dan Nostalgia

Memasuki usia 30 hingga 40-an, pola mendengarkan musik mulai berubah. Banyak orang lebih sering kembali pada lagu-lagu yang dulu mereka dengarkan saat remaja atau awal dewasa muda. Musik dari masa lalu membawa perasaan nostalgia yang kuat, mengingatkan pada momen penting—misalnya masa sekolah, pertemanan, percintaan pertama, atau perjalanan hidup awal karier.

Pada fase ini, fungsi musik bukan lagi sekadar eksplorasi identitas, melainkan lebih kepada penguat suasana hati dan pengingat memori. Inilah sebabnya seseorang bisa berulang kali memutar lagu lama tanpa merasa bosan. Lagu baru masih mungkin didengar, namun daya tariknya tidak sekuat masa muda.

Nostalgia ini berperan besar dalam penyempitan selera musik. Ketika seseorang sudah memiliki daftar lagu yang identik dengan kenangan berharga, mereka cenderung merasa “tidak perlu” mencari musik baru.


Usia Lanjut: Kenyamanan dan Keterbatasan Biologis

Saat memasuki usia lanjut, faktor biologis mulai ikut berperan. Sensitivitas pendengaran menurun, terutama dalam menangkap frekuensi tinggi atau perubahan ritme yang rumit. Musik dengan tempo cepat atau produksi digital yang kompleks bisa terasa melelahkan didengar.

Selain itu, otak juga semakin selektif dalam menerima rangsangan baru. Hal yang familiar terasa lebih menenangkan, sementara hal baru bisa dianggap “mengganggu”. Maka tak heran, banyak orang tua lebih memilih musik klasik, balada lama, atau lagu dari masa muda mereka.

Musik di usia lanjut lebih berfungsi sebagai sarana relaksasi dan terapi emosional. Bahkan dalam terapi demensia, musik lama terbukti mampu membangkitkan ingatan yang sempat terkubur, menenangkan kecemasan, dan memberi rasa nyaman.


Faktor Sosial dan Budaya

Selain aspek psikologis dan biologis, ada pula faktor sosial yang memengaruhi penyempitan selera musik. Seiring bertambahnya usia, seseorang biasanya memiliki kesibukan yang lebih padat: pekerjaan, keluarga, hingga tanggung jawab sosial. Akibatnya, waktu untuk mencari musik baru semakin terbatas.

Berbeda dengan remaja yang sering berbagi playlist atau update musik baru di media sosial, orang dewasa lebih fokus pada rutinitas. Jika ada kesempatan mendengarkan musik, mereka akan cenderung memilih lagu yang sudah akrab ketimbang meluangkan waktu untuk “riset musik baru”.

Budaya juga berpengaruh. Misalnya, jika sebuah lagu sering diputar di acara keluarga atau lingkungan sosial, lagu itu bisa menjadi bagian dari “identitas generasi” yang sulit tergantikan oleh musik modern.


Dampak Positif Penyempitan Selera Musik

Fenomena ini bukan berarti negatif. Ada beberapa sisi positif dari penyempitan selera musik, antara lain:

  1. Stabilitas Emosional
    Lagu-lagu yang sudah familiar memberikan rasa aman dan nyaman. Ini penting terutama bagi orang dewasa yang sering menghadapi tekanan pekerjaan atau masalah hidup.

  2. Ikatan Sosial yang Kuat
    Lagu lama sering menjadi bahan nostalgia bersama teman atau keluarga. Bernyanyi bersama lagu lama bisa mempererat hubungan sosial.

  3. Terapi Psikologis
    Musik yang dikenali otak lebih cepat memberi efek menenangkan, sehingga bisa membantu mengurangi stres dan kecemasan.


Dampak Negatif yang Perlu Diwaspadai

Namun, terlalu menutup diri terhadap musik baru juga bisa menimbulkan beberapa dampak negatif:

  1. Kurangnya Keterbukaan
    Jika selalu menolak musik baru, seseorang bisa kehilangan kesempatan untuk memperluas wawasan budaya dan tetap terhubung dengan generasi muda.

  2. Rasa Terasing
    Orang tua bisa merasa “tidak nyambung” dengan anak muda karena tidak mengenal musik yang sedang populer.

  3. Menurunnya Stimulasi Otak
    Mendengarkan musik baru dapat menstimulasi otak layaknya mempelajari bahasa baru. Menutup diri dari musik baru berarti kehilangan salah satu cara untuk menjaga otak tetap aktif.


Bagaimana Menjaga Keseimbangan?

Meski penyempitan selera musik adalah fenomena alami, ada cara untuk tetap seimbang:

  • Luangkan waktu mendengarkan musik baru minimal 10–15 menit per minggu.

  • Gabungkan nostalgia dengan eksplorasi: buat playlist yang berisi campuran lagu lama dan lagu baru.

  • Ikut serta dalam kegiatan musik lintas generasi, misalnya konser keluarga atau acara karaoke bersama anak-anak.

  • Gunakan platform digital yang menawarkan rekomendasi musik baru berdasarkan selera lama. Ini memudahkan transisi tanpa merasa asing.


Musik: Cermin Perjalanan Hidup

Pada akhirnya, penyempitan selera musik bukanlah tanda kemunduran, melainkan cerminan perjalanan hidup manusia. Musik yang kita pilih mencerminkan fase kehidupan yang sedang dijalani. Lagu-lagu dari masa lalu adalah catatan emosional yang melekat, sementara musik baru adalah peluang untuk terus tumbuh dan terhubung dengan dunia yang terus berubah.

Fenomena ini mengingatkan kita bahwa setiap fase usia memiliki karakter musiknya masing-masing. Bagi remaja, musik adalah jendela eksplorasi. Bagi orang dewasa, musik adalah jangkar emosi. Dan bagi orang tua, musik adalah penenang jiwa.


Penutup

Selera musik yang menyempit seiring bertambahnya usia adalah proses alami yang dipengaruhi faktor psikologis, biologis, sosial, dan budaya. Meski terlihat sederhana, fenomena ini sebenarnya memperlihatkan betapa kuatnya musik dalam kehidupan manusia.

Musik tidak hanya sekadar suara, melainkan penanda identitas, pengikat memori, sekaligus jembatan antar generasi. Maka, alih-alih menilai penyempitan selera musik sebagai sesuatu yang negatif, lebih baik kita melihatnya sebagai refleksi dari siapa kita dan perjalanan hidup yang telah dilalui.

Namun demikian, membuka telinga terhadap musik baru tetaplah penting. Sebab, di balik nada yang asing, mungkin tersembunyi pengalaman emosional baru yang bisa memperkaya hidup kita.

Posting Komentar